Published On: 25 March 2011
JAKARTA: Kalangan anggota DPR mengusulkan pembentukan panitia kerja (panja) kasus depo bahan bakar minyak Balaraja, Banten, untuk mendapatkan kejelasan dan mendorong penuntasan kasus itu oleh Kejaksaan Agung. Anggota Komisi VI DPR Emil Abeng mengatakan kasus depo BBM Balaraja terjadi akibat ketidakjelasan kebijakan, prosedur, dan metode pembinaan badan usaha milik negara, sehingga mendorong manipulasi untuk kepentingan pribadi atau golongan.
“Saya akan meminta penjelasan dan kronologis dalam rapat dengar pendapat dengan Pertamina nanti. Jika jawabannya tidak memuaskan, saya akan mendorong pembentukan panja depo Balaraja,” katanya hari ini.
Hal senada disampaikan anggota Komisi VII DPR Satya W. Yudha. Menurut dia, penuntasan kasus tersebut sangat penting agar tidak mengganggu kinerja Pertamina. Dia mengatakan Kejagung juga harus segera mengusut indikasi korupsi dalam kasus itu dan mengungkapkannya kepada publik.
“Jika memang benar ada indikasi korupsi, harus diungkap secara terbuka supaya masyarakat juga tahu siapa yang telah melakukan penyimpangan,” ujarnya.
Rencana pembentukan panja tersebut didukung oleh Adhie Massardi, koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB). Bahkan, lembaga swadaya masyarakat ini bersama aktivis antikorupsi akan menyampaikan petisi kepada DPR untuk segera membentuk panja.
”Kami menduga kasus depo Balaraja sarat masalah dan berindikasi korupsi. Untuk itu, kami meminta DPR, dalam hal ini komisi yang terkait yaitu Komisi III [Hukum], Komisi VII [Energi], Komisi VI [BUMN] dan Komisi II [Pertanahan] untuk mengungkap kasus ini hingga terang benderang,” ujarnya.
Dia mengatakan beberapa hal yang menjadi pertanyaan dalam kasus itu a.l. nilai ganti rugi oleh PT Pertamina kepada PT Pandan Wangi Sekartaji (PWS) selaku pelaksana proyek yang dinilai tidak sesuai dengan keputusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Berdasarkan putusan BANI No. 247/I/ARB-BANI/2007, Pertamina harus membayar ganti rugi US$20,1 juta dengan syarat membuktikan tahap kemajuan pembangunan proyek mencapai 29%. Namun, kata Adhi, PWS tidak dapat menyerahkan bukti kemajuan proyek tersebut.
“Seharusnya Pertamina terlebih dahulu menetapkan tahap kemajuan pekerjaan yang dilakukan appraisal independen sebagai dasar pembayaran ganti rugi itu. Lalu, siapa yang menunjuk perusahaan appraisal dan apa dasar munculnya nilai ganti rugi US$12,8 juta oleh Pertamina,” ungkap Adhi.
Kasus ini berawal ketika Pertamina, diwakili oleh Faisal Abda’oe selaku direktur utama, menadatangani perjanjian pembangunan, pengoperasian, penyewaan dan pemeliharaan Depot Satelit A Jakarta No. 0417/C0000/96-\S5 dengan PWS pada 29 Maret 1996.
Biaya pembangunan depo Balaraja (Depot Satelit A Jakarta) mencapai US$100 juta yang dilaksanakan dengan menggunakan sistem build and rent. Artinya, pendanaannya menjadi tanggung jawab PWS baik dari dana sendiri maupun dari kerja sama dan/atau pinjaman yang sah lainnya.
Setelah proyek selesai, proyek akan disewakan kepada Pertamina dengan biaya sewa yang harus dibayarkan kepada PWS sebesar US$11,9 juta per semester. Pembayaran sewa oleh Pertamina disepakati dilakukan secara tetap selama 20 tahun.
Namun, krisis terjadi pada 1998 dan proyek tersebut batal terlaksana. Pada 15 Januari 2003, PWS dan Pertamina menandatangani kesepakatan bersama penghentian proyek, padahal PWS sudah membeli tanah 20 hektare untuk proyek tersebut.
Karena PWS maupun Pertamina tidak mencapai kesepakatan, PWS mengajukan permasalahan ini ke BANI pada 15 Januari 2007 dan pada 4 Oktober 2007 BANI dengan putusannya menyatakan Pertamina wanprestasi (ingkar janji) terhadap PWS berkenaan dengan pelaksanaan hasil kajian dan evaluasi oleh konsultan independen Arthur Andersen / Prasetyo Strategic Consulting untuk kelanjutan pembangunan Depot Satelit A.
Pertamina dihukum untuk membayar kepada PWS secara tunai dan sekaligus kompensasi atau ganti rugi atas pekerjaan yang telah dikerjakan sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan sejumlah US$20,1 juta, serta menghukum PWS untuk menyerahkan persentase pembangunan (work in progress) sebesar 29% kepada Pertamina.
Dia mengatakan pada 10 Maret 2009, Pertamina telah melakukan pembayaran tahap pertama sekitar US$6,3 juta kepada PWS, padahal nilai itu tidak setara dengan penyerahan asset non-tanah oleh PWS sebagai landasan hukum pelaksanaan pembayaran ganti rugi.
Pada 10 Maret 2009, Pertamina lalu membayar separuh nilai ganti rugi US$6,3 juta kepada PWS. Sewaktu PWS hendak mencairkan ganti rugi tahap kedua, barulah ketahuan bahwa PWS tidak memiliki sertifikat asli atas tanah proyek itu.
Yang ada pada PT PWS adalah sertifikat HGB No. 032, bukan HGB No. 031. PWS menyatakan HGB No. 031 hilang. Edward Soeryadjaya, yang memegang HGB itu mengajukan protes kepada Pertamina yang kemudian menunda pembayaran ganti rugi tahap kedua itu.
Untuk pengadaan tanah itu, PWS meminjam kepada perusahaan Singapura, Van Der Horst Ltd (VDHL), dan menjaminkan Sertifikat No. 031 atas tanah proyek itu. Ternyata, VDHL juga bangkrut karena terkena krisis sehingga perusahaan itu dilelang pada 2000. Lelang dimenangkan pengusaha nasional Edward Soeryadjaya.
No comments:
Post a Comment